Keimanan
seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir
adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun
takdir yang buruk. Kesalahan dalam memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya seluruh keimanan seseorang. Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita untuk memahami keimanan yang benar terhadap takdir Allah.
Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir
Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip.
Pertama.
Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali
(sejak dahulu) dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik
perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang
tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun
perbuatan makhluk-Nya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.
Kedua.
Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfuzh catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.
Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Kitab dan As Sunnah.
Dalam Al Kitab, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj : 70).
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib,
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui
apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al An’am:59).
Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi” (HR. Muslim)
Ketiga.
Mengimani
bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun
yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak
maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluk-Nya.
Keempat.
Mengimani penciptaan Allah,bahwa Allah Ta’ala
menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan
tersembunyi,. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk
beserta sifat-sifatnya dan segala sesuatu berupa perkataan dan
perbuatan makhluk.
Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala(yang artinya), “Allah
menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.
Kepunyaan-Nya lah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan
orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah
orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar : 62-63). Juga firman-Nya (yang artinya), “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shaffat : 96). (lihat Taqriib Tadmuriyah)
Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir
Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh takdir sejak azali,
dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan
bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir
yang telah Allah tetapkan.
Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qadariyyah
mereka mengingkari adanya takdir. Merka mengatakan bahwa Allah tidak
menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan
makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya.
Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap perbuatan hamba.
Kelompok yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah.
Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak
hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan
menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba
dipaksa dalam perbuatannya. (Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid)
Kedua
kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana
ditunjukkan dalam dalil yang banyak. Di antaranya firman Allah Ta’ala(yang artinya), “(yaitu)
bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu
tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam.”(QS. At Takwiir : 28-29)
Pada ayat “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan sanggahan untuk Jabariyyah, karena
pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini
bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa
tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan kehendak Allah, karena dalam ayat ini Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya. (lihat Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad)
Takdir Baik dan Takdir Buruk
Takdir
terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang
baik sudah jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang
buruk? Apakah berarti Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini
kita perlu memahami antara takdir yang merupakan perbuatan Allah dan
dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati
buruk, maka yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan
tersebut, bukan takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada
satu pun perbuatan Allah yang buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung
kebaikan dan hikmah. Jadi keburukan yang dimaksud ditinjau dari sesuatu
yang ditakdirkan/ hasil perbuatan, bukan ditinjau dari perbuatan Allah.
Untuk
lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut. Seseorang yang
terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang membutuhkan
tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah penyebaran
kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu
yang buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi
(pemotongan kaki) adalah perbuatan yang baik. Walupun hasil perbuatannya
buruk (yakni terpotongnya kaki), namun tindakan amputasi adalah
perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita memahami takdir yang Allah
tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun terkadang
hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hamba-Nya.
Namun
yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di
satu sisi buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum : 41).
Kerusakan yang terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena
itu keburukan yang terjadi dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki,
karena terkadang akan menimbulkan hasil akhir berupa kebaikan.( Lihat Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah li Syaikh ‘Utsaimin)
Bersemangatlah! Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir
Sebagian
orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya
pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sungguhini merupakan kesalahan
yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil
sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah
mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka
kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan
ketetapan Allah.
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah
dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah dan
jangalah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu
mengatakan : ’Seaindainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan jadi
begini atau begitu’, tetapi katakanlah : ‘Qoddarallāhu wa maa syā-a
fa’ala” (HR. Muslim)( Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad)
Faedah Penting
Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya sebagai berikut :
-
Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab dan tidak bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung padatakdirAllah.
-
Seseorang tidak boleh sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai tujuannya, karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab kebaikan dan keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman terhadap dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.
-
Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa dirinya, sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya atau ketika mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan takdir Allah. Allah berfirman (yang artinya),“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. …” (QS. Al Hadiid : 22-23). (Syarh Ushuulil Iman)
Demikian paparan ringkas seputar keimanan terhadap takdir. Semoga bermanfaat. Alhamdulillāhiladzi bini’matihi tatimmush shālihāt.
0 komentar:
Posting Komentar