RSS

Rabu, 18 Juni 2014

Bangkitlah Ummatku!!

Tidak asing lagi fakta kehidupan yang sedang dijalani oleh umat islam sekarang ini, berbagai petaka, bencana, penindasan, pelecehan dan berbagai fakta pilu lainnya. Dari hari ke hari, pendengaran kita tiada hentinya mendengarkan berbagai berita yang menyayat-nyayat hati, mata kita membaca berbagai lembaran kelam dari sejarah umat Islam.


Musuh-musuh dari segala aliran dan bangsa dengan bengisnya menindas, menjajah, dan merampas hak umat Islam. Dengan segala kerakusan dan keserakahannya mereka merampas segala keindahan umat Islam. Semua itu berlangsung tanpa ada daya dan upaya yang dapat dilakukan oleh umat Islam untuk menangkal atau menyingkapnya.

Fakta ini benar-benar seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:

Tak lama lagi berbagai bangsa akan ramai-ramai bersekongkol atas kalian, bak persekongkolan para pemakan ramai-ramai menuju kepada piring hidangannya. Maka seorang sahabat bertanya: “Apakah karena kami kala itu berjumlah sedikit?” Beliau menjawab: “Bahkan kalian kala itu berjumlah banyak, akan tetapi kalian buih bak buih air bah, dan sungguh Allah akan menyirnakan rasa takut dari dada musuh-musuh kalian, dan Ia akan mencampakkan Al Wahanu di jantung-jantung kalian.” Maka salah seorang sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, apakah Al Wahanu itu?” Beliau menjawab: “Cinta terhadap dunia dan benci akan kematian.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya, serta dishohihkan oleh Al Albany)

Walau demikian, kita tidak boleh berkecil hati atau merasa putus asa, karena Allah Ta’ala telah memberikan jaminan bahwa kemenangan, dan kejayaan pasti akan menghampiri hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa:

“Dan sungguh-sungguh telah Kami tuliskan (tetapkan) di dalam Zabur sesudah (Kami tuliskan dalam Laih Mahfuzh) bahwasannya bumi ini akan di warisi oleh hamba-hamba-Ku yang soleh.” (QS. Al Anbiya’: 105)

Ibnu Katsir berkata: “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa hal ini (kemenangan orang-orang soleh-pen) telah dituliskan dalam kitab syar’i (taqdir syar’iyah) dan kitab Qodari (taqdir kauniyah), dan hal itu pasti terwujud.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/201)

Pada ayat lain Allah berfirman:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan beramal soleh, bahwa Ia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Ia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Ia ridhai untuk mereka. Dan Ia benar-benar akan menggantikan (keadaan) mereka setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada menyekutukan-Ku dengan sesuatu. Dan barang siapa yang (tetap) kufur sesudah janji ini, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. An Nur: 55)

Dan pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami pasti menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tegakkanya para saksi (hari Qiyamat)” (QS. Ghofir: 50)
Inilah janji Allah, inilah jaminan dari Allah, dan inilah sebagian dari imbalan bagi orang-orang yang memenuhi janji mereka kepada Allah.

Bila kita renungkan ketiga ayat di atas, niscaya kita dapatkan dengan jelas bahwa janji Allah ini tidaklah diberikan dengan tanpa syarat. Akan tetapi janji Allah ini hanya dapat digapai dengan dua syarat:
1. Syarat Pertama: Iman.
2. Syarat Kedua: Amal sholeh.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Karena para sahabat -semoga Allah meridhoi mereka- sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang paling banyak menegakkan perintah-perintah Allah, dan paling ta’at kepada Allah Azza wa Jalla, maka pertolongan yang mereka dapatkan sesuai dengan amalan mereka. Mereka menegakkan kalimat Allah di belahan bumi bagian timur dan barat, maka Allah benar-benar meneguhkan mereka. Sehingga mereka berhasil menguasai umat manusia dan berbagai negeri. Dan tatkala umat Islam sepeninggal mereka melakukan kekurangan dalam sebagian syari’at, maka kejayaan mereka berkurang selarang dengan amalan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/302)

Sebenarnya, lembaran sejarah yang sedang dijalani oleh umat Islam pada zaman sekarang, tidaklah lebih berat bila dibandingkan dengan lembaran sejarah yang dijalani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dituduh sebagai tukang sihir, pendusta, dan dan disakiti serta diperangi. Ada dari sahabatnya yang dibunuh dengan cara-cara sadis nan bengis, sebagaimana yang dialami oleh sahabat Yasir & Sumayyah. Ada dari mereka yang disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan, sebagaimana yang dialami oleh Ammar bin Yasir, Khabbab bin Arat, Bilal dll.

Menjalani tantangan yang sangat berat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tegar meniti setiap tahapan dakwah, tanpa kenal lelah atau kecil hati. Beliau berjuang sekuat tenaga guna mewujudkan kedua persyaratan diatas pada sahabatnya.
Dan tatkala ada dari sebagian dari sahabatnya yang merasa bahwa jalan menuju kejayaan terlalu panjang, dengan tegar beliau kembali menegaskan bahwa bila kedua persyaratan diatas telah terealisasi, maka jalan menuju kejayaan sangatlah pendek. Mari kita simak beberapa bukti akan hal ini:

Abul ‘Aliyah menyatakan bahwa ayat 55 surat An Nur di atas diturunkan pada awal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya diperintahkan untuk berperang, sehingga beliau dan para sahabatnya senantiasa dalam keadaan khawatir akan serangan musuh. Oleh karenanya, mereka senantiasa menenteng senjata, sampai-sampai salah seorang sahabat berkata kepada beliau: “Akankah selama-lamanya kita akan berada dalam ketakutan semacam ini?, mungkinkah akan datang suatu saat yang aman sehingga kamipun meletakkan senjata?” Maka Nabipun menjawab: “Tidaklah kalian bersabar melainkan hanya dalam waktu yang singkat, sampai akan datang suatu masa, yang padanya salah seorang dari kamu akan duduk berongkang-ongkang di tengah keramaian manusia, sedangkan tidak sepotong besipun (senjata) ada bersama mereka,” kemudian Allah menurunkan ayat di atas. (Tafsir At Thobary 18/159)

Imam Bukhori meriwayatkan dari sahabat Khabbab bin Arat radhiallahu ‘anhu, bahwa pada suatu hari beliau mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berbaring di bawah naungan Ka’bah berbantalkan selimutnya. Lalu sahabat Khabbab berkata kepada beliau: “Tidakkah engkau memohonkan pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami?” Maka beliau menjawab: “Dahulu pada umat sebelum kalian ada orang yang ditimbun dalam tanah, kemudian didatangkan gergaji, lalu diletakkan di atas kepalanya hingga terbelah menjadi dua. Siksa itu tidaklah menjadikan ia berpaling dari agamanya. Dan ada yang disisir dengan sisir besi, hingga terkelupas daging, dan nampaklah tulang atau ototnya, akan tetapi hal itu tidaklah menjadikan ia berpaling dari agamanya. Sungguh demi Allah, urusan ini akan menjadi sempurna, sehingga akan ada penunggang kendaraan dari Sanaa’ hingga ke Hadramaut, sedangkan ia tidaklah merasa takut kecuali kepada Allah atau serigala atas dombanya. Akan tetapi kalian adalah orang-orang yang terburu-buru.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kisah ini kembali menggugah keimanan Khabbab kepada janji Allah. Sebagaimana Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegur sahabat Khabbab agar meninggalkan sikap terburu-buru dalam perjuangan di jalan Allah.
Bila sahabat Khabbab radhiallahu ‘anhu yang hanya meminta agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan pertolongan dan berdoa, dinyatakan terburu-buru, maka bagaimana halnya dengan sikap banyak dari umat Islam pada zaman ini. Dari mereka ada yang menempuh jalan demonstrasi, pengeboman, pendirian partai politik, dan menggalang dukungan dari siapapun, serta berkoalisi dengan partai apapun, tanpa perduli dengan azaz dan idiologinya. Semua ini mereka lakukan di bawah slogan: Menyegerakan kejayaan bagi umat Islam?!! Mengusahakan jaminan hidup bermartabat bagi umat Islam?! Memperjuangkan nasib kaum muslimin?!! Bahkan dari mereka ada yang berkata: Bila umat islam tidak masuk parlemen, maka siapakah yang akan menjamin nasib mereka?!

Seakan-akan mereka tidak pernah mendengar jaminan dan janji Allah di atas. Seusai perjanjian Hudaibiyyah ditandatangani, sahabat Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu yang tidak kuasa melihat sahabat Abu Jandal radhiallahu ‘anhu diserahkan kembali ke orang-orang Quraisy, berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bukankah engkau adalah benar-benar Nabiyullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya.” Umarpun kembali berkata: “Bukankah kita di atas kebenaran, sedangkan musuh kita di atas kebatilan?” Nabipun menjawab: “Ya!” Umarpun berkata: “Lalu mengapa kita pasrah dengan kehinaan dalam urusan agama kita, bila demikian adanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sesungguhnya Aku adalah Rasulullah, dan aku tidak akan menyelisihi perintah-Nya, dan Allah adalah Penolongku.” Umar kembali berkata: “Bukankah engkau pernah mengabarkan kepada kami bahwa kita akan mendatangi Ka’bah, kemudian berthowaf di sekelilingnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Iya, dan apakah aku pernah mengabarkan bahwa kita akan mendatangai Ka’bah pada tahun ini?” Umarpun menjawab: “Tidak.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya: “Sesungguhnya engkau akan mendatangainya, dan akan bertowaf mengelilinginya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha meneguhkan kembali keimanan Umar bin Khatthab kepada janji Allah agar tidak tergoyah. Dan mengungatkannya agar bersabar dalam menanti datangnya pertolongan Allah, yaitu dengan tetap taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah seyogyanya pertolongan Allah Ta’ala digapai. Yaitu dengan keimanan yang benar dan kokoh dan kesabaran yang teguh. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan Kami jadikan dari mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka bersabar dan adalah mereka selalu meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah: 24)

Ibnul Qayyim berkata: “Pada ayat ini Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Ia telah menjadikan mereka (pengikut nabi Musa-pen) sebagai pemimpin-pemimpin yang dijadikan panutan oleh generasi setelah mereka, berkat kesabaran dan keyakinan mereka. Sebab dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam hal agama dapat dicapai. Karena seorang penyeru kepada jalan Allah Ta’ala, tidaklah akan terealisasi cita-citanya, melainkan bila ia benar-benar yakin akan kebenaran misi yang ia surukan, ia menguasai ilmu tentangnya. Ia juga bersabar dalam menjalankan dakwah menuju jalan Allah, yaitu dengan tabah menahan beban dakwah dan menahan diri dari segala hal yang akan meluluhkan tekad dan cita-citanya. Barang siapa demikian ini halnya, maka ia termasuk para pemimpin yang telah mendapat petunjuk dari Allah Ta’ala.” (I’ilamul Muwaqi’in 4/135)

Kisah antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu di atas, tentu tidak selaras dengan doktrin sebagian orang bahwa: yang paling penting sekarang ini adalah kita bergerak, umat islam harus bertindak, sekarang ini bukan lagi saatnya untuk menyoal tentang asma’ was sifat, sunnah, atau bid’ah, sedangkan saudara kita di sana dibantai, di sini ditindas, disana diserang dst. Sekarang ini bukan saatnya untuk bertanya sunnah atau bid’ah? Sekarang ini saatnya kita bersatu, menggalang dukungan, melupakan segala perbedaan, dan berusaha mencari titik temu, dst.

Doktrin ini tidaklah diucapkan kecuali oleh orang yang tidak mengenal keagungan Allah Ta’ala:
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya kalian mengerjakan berbagai amalan, yang di mata kalian lebih lembut dibanding rambut, padahal kami dahulu semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapnya sebagai amalan yang membinasakan.” (Riwayat Bukhori)

Tatkala Kholifah Umar bin Al Khotthab terluka akibat tusukan Abu Lu’lu’ah Al Majusi, ia dijenguk oleh seorang pemuda yang berkata: “Bergembiralah wahai Amirul Mukminin dengan kabar gembira dari Allah untukmu; engkau telah menjadi sahabat Rasulullah, dan banyak berjasa untuk Islam sebagaimana yang engkau ketahui sendiri, kemudian engkau dipilih menjadi pemimpin, dan engkaupun berlaku adil, kemudian engkau mati syahid.” Umarpun menjawab: “Aku berandai-andai itu semua cukup, tidak atasku dan juga tidak untukku.” Tatkala pemuda itu telah berpaling, ternyata sarungnya menyentuh tanah. Umar-pun berkata: “Panggillah kembali pemuda itu,” lalu ia berkata kepadanya: “Wahai anak saudaraku! Naikkanlah bajumu, karena dengan cara itu bajumu akan lebih awet, dan engkau lebih bertaqwa kepada Rabb-mu.” (Riwayat Bukhori)

Pada akhir hayatnya, Kholifah Umar bin Khatthab masih juga perhatian dengan masalah isbal. Beliau atau sahabat lainnya yang hadir kala itu tidak ada yang berkata: “Sekarang, bukan saatnya berbicara tentang isbal, sekarang saatnya berbicara tentang calon pengganti kholifah,” atau ucapan yang semakna.

Kholifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkirim surat kepada salah seorang panglimanya:

“Hendaknya engkau senantiasa bertaqwa kepada Allah dalam setiap situasi yang engkau hadapi, karena ketakwaan kepada Allah adalah senjata paling ampuh, taktik paling bagus, dan kekuatan paling hebat. Janganlah engkau dan kawan-kawanmu lebih waspada dalam menghadapi musuh dibanding menghadapi perbuatan maksiat kepada Allah. Karena perbuatan dosa lebih aku khawatirkan atas masyarakat dibanding tipu daya musuh mereka. Kita memusuhi musuh kita dan mengharapkan kemenangan atas mereka berkat tindak kemaksiatan mereka. Kalaulah bukan karena itu, niscaya kita tidak kuasa menghadapi mereka, karena jumlah kita tidak seimbang dengan jumlah mereka, kekuatan kita tidak setara dengan kekuatan mereka. Bila kita tidak mendapat pertolongan atas mereka berkat kebencian kita terhadap kemaksiatan mereka, niscaya kita tidak dapat mengalahkan mereka hanya dengan kekuatan kita.
 Jangan sekali-kali kalian lebih mewaspadai permusuhan seseorang dibanding kewaspadaanmu terhadap dosa-dosamu sendiri. Janganlah kalian lebih serius menghadapi mereka dibanding menghadapi dosa-dosa kalian.
Ketahuilah bahwa kalian senantiasa diawasi oleh para malaikat pencatat amalan. Mereka mengetahui setiap perilaku kalian sepanjang perjalanan dan peristirahatan kalian. Hendaknya kalian merasa malu dari mereka, dan berlaku santun dihadapan mereka. Jangan sekali-kali menyakiti mereka dengan tindak kemaksiatan kepada Allah, padahal kalian mengaku sedang berjuang di jalan Allah.
Janganlah sekali-kali kalian beranggapan bahwa: “Sesungguhnya (perbuatan) musuh-musuh kita lebih jelek dibanding kita, sehingga tidak mungkin mereka dapat mengalahkan kita, walaupun kita berbuat dosa. Betapa banyak kaum yang telah dikuasai oleh orang-orang yang lebih jelek, akibat dari perbuatan dosa kaum tersebut.”
Mohonlah pertolongan kepada Allah dalam menghadapi diri kalian, sebagaimana kalian memohon pertolongan kepada-Nya dalam menghadapi musuh kalian. Sebagaimana kamipun turut memohon hal tersebut untuk diri kita dan juga untuk kalian.” (Hilyatul Auliya’ 5/303)

Subhanallah, suatu pesan yang layak untuk dituliskan dengan tinta emas, dan dibacakan kepada setiap orang yang di hatinya sedang berkobar-kobar api perjuangan demi Islam. Sudah sepantasnya pesan ini diajarkan kepada setiap pemuda Islam yang ingin memperjuangkan nasib Islam dan umatnya.

Kisah peperangan uhud dan peperangan Hunain adalah contoh kecil bagi ucapan Kholifah Umar bin Abdul Aziz: Janganlah sekali-kali kalian beranggapan bahwa: “Sesungguhnya (perbuatan) musuh-musuh kita lebih jelek dibanding kita,…”

Pada perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya menghadapi kaum kafir Quraisy. Mereka datang ke madinah guna membalas dendam atas kekalahan mereka pada perang Bader. Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanggar perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak meninggalkan pos penjagaan mereka di atas gunung, walau terjadi kejadian apapun. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:

“Tetaplah kalian berada di pos kalian, dan janganlah kalian berhanjak pergi, walaupun kalian menyaksikan burung-burung telah menyambar-nyambar kami.” (Al Baihaqy dll)

Akan tetapi perintah ini oleh sebagian sahabat yang bertugas menjaga pos di atas gunung dilanggar. Mereka berdalih, perang telah usai, dan musuh mulai lari tunggang-langgang, sehingga mereka merasa perlu untuk ikut mengumpulkan rampasan perang dan menawan musuh yang berhasil di tangkap. Akibat pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian sahabat ini, terjadilah kekalahan dan petaka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka dan terjatuh hingga pingsan, lebih dari tujuh puluh sahabat terbunuh dll.

Pada kisah ini, sebagian sahabat melanggar perintah untuk ittiba’ (meneladani dan mentaati) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan pada perang Hunain, sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalai akan Allah, sehingga mereka merasa percaya diri dan beranggapan tidak akan terkalahkan, karena jumlah mereka banyak. Sebagaimana Allah kisahkan hal ini dalam surat At Taubah 25:

“Sesungguhnya Allah telah menolong kalian di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu terperdaya oleh banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, k emudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (QS. At Taubah: 25)

Pada kisah ini sebagian sahabat yang merasa percaya diri dengan jumlah pasukan dan melalaikan tawakkal kepada Allah, maka mereka ditimpa kekalahan, walaupun akhirnya para sahabatnya yang telah kokoh keimanannya, segera kembali dan berjihad melawan musuh. Dan akhirnya Allah Ta’ala melimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya kemenangan. Pada kisah ini, kaum muslimin terkalahkan pada awal peperangan, akibat rasa ujub dan lupa tawakkal, sehingga terjadi kekeliruan dalam hal tauhid kepada Allah.

Bila kita sedikit menoleh kepada realita umat Islam pada zaman kita ini, maka kita dapatkan sangat jauh beda. Bukan sekedar dosa-dosa kecil yang diremehkan, akan tetapi berbagai dosa besar bahkan syirikpun tidak lagi diperdulikan. Berapa ribu kuburan yang dikeramatkan? Berapa juta ajimat dikantongi umat islam? Berapa ribu paranormal dan para-tidak-normal bebas membuka praktek umum. Berapa ribu habib dan kyai bebas mengajarkan bid’ah dan kesesatannya? Adakah orang yang merasa terusik, atau menggalang kekuatan dan dukungan untuk mengingkari itu semua?
Kebanyakan umat Islam sekarang ini disibukkan dengan urusan jabatan dan perebutan jatah kursi. Mereka sewot bila ada pejabat yang korupsi, akan tetapi tidak pernah sewot sedikitpun bila ada kuburan yang dikultuskan, atau bid’ah yang diajarkan.

Sebenarnya fakta ini bukanlah hal baru, akan tetapi senantiasa terjadi di sepanjang masa, mari kita simak kisah berikut:

“Dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu ia menuturkan: Datang kepadaku salah seorang dari anshar (penduduk madinah) pada masa khilafah Utsman, kemudian ia berbicara kepadaku, ternyata ia memerintahkanku untuk mencela Utsman, dan ia adalah orang yang lisannya berat (susah berbicara) sehingga ia tidaklah dapat menyampaikan maksudnya dengan jelas, dan ketika ia telah selesai berbicara, sayapun menjawab: “Dahulu kami (para sahabat), semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Orang paling utama dari umat ini ialah Abu Baker, kemudian Umar, kemudian Utsman. Dan sungguh demi Allah, kami tidaklah mengathui bahwa Utsman pernah membunuh seorang jiwa tanpa alasan yang dibenarkan, tidak juga pernah melakukan dosa besar. Akan tetapi yang menjadi permasalahan ialah harta kekayaan ini (harta kekayaan khilafah/ negara), bila ia memberikannya kepada kalian, kalian ridho, dan bila ia berikannya kepada karib kerabatnya kalian menjadi murka. Sesungguhnya kalian ini ingin menjadi seperti orang-orang Persia dan Romawi, mereka tidaklah pernah memiliki seorang pemimpin, melainkan mereka bunuh sendiri.” (Riwayat Ahmad, Al Khollah dan At Thobrani)

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya cukupkan dengan menyebutkan hadits berikut:

“Bila kalian telah (sibuk dengan) mengikuti ekor-ekor sapi, berjual beli dengan cara ‘inna[1] dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan melekatkan kehinaan ditengkuk- tengkuk kalian, kemudian kehinaan tidak akan dicabut dari kalian hingga kalian kembali kepada keadaan kalian semula dan bertaubat kepada Allah.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al Baihaqy dan dishohihkan oleh Al Albany). Wallahu a’alam bisshowab.

0 komentar:

Posting Komentar