Tidak asing lagi fakta kehidupan yang sedang dijalani oleh umat islam
sekarang ini, berbagai petaka, bencana, penindasan, pelecehan dan
berbagai fakta pilu lainnya. Dari hari ke hari, pendengaran kita tiada
hentinya mendengarkan berbagai berita yang menyayat-nyayat hati, mata
kita membaca berbagai lembaran kelam dari sejarah umat Islam.
Musuh-musuh dari segala aliran dan bangsa dengan bengisnya menindas, menjajah, dan merampas hak umat Islam. Dengan segala kerakusan dan keserakahannya mereka merampas segala keindahan umat Islam. Semua itu berlangsung tanpa ada daya dan upaya yang dapat dilakukan oleh umat Islam untuk menangkal atau menyingkapnya.
Fakta ini benar-benar seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:
Tak lama lagi berbagai bangsa akan ramai-ramai bersekongkol atas
kalian, bak persekongkolan para pemakan ramai-ramai menuju kepada piring
hidangannya. Maka seorang sahabat bertanya: “Apakah karena kami kala
itu berjumlah sedikit?” Beliau menjawab: “Bahkan kalian kala itu
berjumlah banyak, akan tetapi kalian buih bak buih air bah, dan sungguh
Allah akan menyirnakan rasa takut dari dada musuh-musuh kalian, dan Ia
akan mencampakkan Al Wahanu di jantung-jantung kalian.” Maka salah
seorang sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, apakah Al Wahanu itu?”
Beliau menjawab: “Cinta terhadap dunia dan benci akan kematian.”
(Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya, serta dishohihkan oleh Al
Albany)
Walau demikian, kita tidak boleh berkecil hati atau merasa putus asa,
karena Allah Ta’ala telah memberikan jaminan bahwa kemenangan, dan
kejayaan pasti akan menghampiri hamba-hamba-Nya yang beriman dan
bertaqwa:
“Dan sungguh-sungguh telah Kami tuliskan (tetapkan) di dalam Zabur
sesudah (Kami tuliskan dalam Laih Mahfuzh) bahwasannya bumi ini akan di
warisi oleh hamba-hamba-Ku yang soleh.” (QS. Al Anbiya’: 105)
Ibnu Katsir berkata: “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa hal ini
(kemenangan orang-orang soleh-pen) telah dituliskan dalam kitab syar’i
(taqdir syar’iyah) dan kitab Qodari (taqdir kauniyah), dan hal itu pasti
terwujud.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/201)
Pada ayat lain Allah berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan beramal soleh, bahwa Ia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di bumi, sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa. Dan sungguh Ia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah Ia ridhai untuk mereka. Dan Ia benar-benar akan menggantikan
(keadaan) mereka setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman
sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada menyekutukan-Ku
dengan sesuatu. Dan barang siapa yang (tetap) kufur sesudah janji ini,
maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. An Nur: 55)
Dan pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami pasti menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang
yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tegakkanya para saksi
(hari Qiyamat)” (QS. Ghofir: 50)
Inilah janji Allah, inilah jaminan dari Allah, dan inilah sebagian
dari imbalan bagi orang-orang yang memenuhi janji mereka kepada Allah.
Bila kita renungkan ketiga ayat di atas, niscaya kita dapatkan dengan
jelas bahwa janji Allah ini tidaklah diberikan dengan tanpa syarat.
Akan tetapi janji Allah ini hanya dapat digapai dengan dua syarat:
1. Syarat Pertama: Iman.
2. Syarat Kedua: Amal sholeh.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Karena para sahabat -semoga Allah
meridhoi mereka- sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang paling banyak menegakkan perintah-perintah Allah, dan paling ta’at
kepada Allah Azza wa Jalla, maka pertolongan yang mereka dapatkan
sesuai dengan amalan mereka. Mereka menegakkan kalimat Allah di belahan
bumi bagian timur dan barat, maka Allah benar-benar meneguhkan mereka.
Sehingga mereka berhasil menguasai umat manusia dan berbagai negeri. Dan
tatkala umat Islam sepeninggal mereka melakukan kekurangan dalam
sebagian syari’at, maka kejayaan mereka berkurang selarang dengan amalan
mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/302)
Sebenarnya, lembaran sejarah yang sedang dijalani oleh umat Islam
pada zaman sekarang, tidaklah lebih berat bila dibandingkan dengan
lembaran sejarah yang dijalani oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersama sahabatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dituduh
sebagai tukang sihir, pendusta, dan dan disakiti serta diperangi. Ada
dari sahabatnya yang dibunuh dengan cara-cara sadis nan bengis,
sebagaimana yang dialami oleh sahabat Yasir & Sumayyah. Ada dari
mereka yang disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan, sebagaimana yang
dialami oleh Ammar bin Yasir, Khabbab bin Arat, Bilal dll.
Menjalani tantangan yang sangat berat ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tetap tegar meniti setiap tahapan dakwah, tanpa kenal
lelah atau kecil hati. Beliau berjuang sekuat tenaga guna mewujudkan
kedua persyaratan diatas pada sahabatnya.
Dan tatkala ada dari sebagian dari sahabatnya yang merasa bahwa jalan
menuju kejayaan terlalu panjang, dengan tegar beliau kembali menegaskan
bahwa bila kedua persyaratan diatas telah terealisasi, maka jalan
menuju kejayaan sangatlah pendek. Mari kita simak beberapa bukti akan
hal ini:
Abul ‘Aliyah menyatakan bahwa ayat 55 surat An Nur di atas diturunkan
pada awal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya
diperintahkan untuk berperang, sehingga beliau dan para sahabatnya
senantiasa dalam keadaan khawatir akan serangan musuh. Oleh karenanya,
mereka senantiasa menenteng senjata, sampai-sampai salah seorang sahabat
berkata kepada beliau: “Akankah selama-lamanya kita akan berada dalam
ketakutan semacam ini?, mungkinkah akan datang suatu saat yang aman
sehingga kamipun meletakkan senjata?” Maka Nabipun menjawab: “Tidaklah
kalian bersabar melainkan hanya dalam waktu yang singkat, sampai akan
datang suatu masa, yang padanya salah seorang dari kamu akan duduk
berongkang-ongkang di tengah keramaian manusia, sedangkan tidak sepotong
besipun (senjata) ada bersama mereka,” kemudian Allah menurunkan ayat
di atas. (Tafsir At Thobary 18/159)
Imam Bukhori meriwayatkan dari sahabat Khabbab bin Arat radhiallahu
‘anhu, bahwa pada suatu hari beliau mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang sedang berbaring di bawah naungan Ka’bah
berbantalkan selimutnya. Lalu sahabat Khabbab berkata kepada beliau:
“Tidakkah engkau memohonkan pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau
berdoa kepada Allah untuk kami?” Maka beliau menjawab: “Dahulu pada umat
sebelum kalian ada orang yang ditimbun dalam tanah, kemudian
didatangkan gergaji, lalu diletakkan di atas kepalanya hingga terbelah
menjadi dua. Siksa itu tidaklah menjadikan ia berpaling dari agamanya.
Dan ada yang disisir dengan sisir besi, hingga terkelupas daging, dan
nampaklah tulang atau ototnya, akan tetapi hal itu tidaklah menjadikan
ia berpaling dari agamanya. Sungguh demi Allah, urusan ini akan menjadi
sempurna, sehingga akan ada penunggang kendaraan dari Sanaa’ hingga ke
Hadramaut, sedangkan ia tidaklah merasa takut kecuali kepada Allah atau
serigala atas dombanya. Akan tetapi kalian adalah orang-orang yang
terburu-buru.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kisah ini kembali
menggugah keimanan Khabbab kepada janji Allah. Sebagaimana Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegur sahabat Khabbab agar
meninggalkan sikap terburu-buru dalam perjuangan di jalan Allah.
Bila sahabat Khabbab radhiallahu ‘anhu yang hanya meminta agar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan pertolongan dan berdoa,
dinyatakan terburu-buru, maka bagaimana halnya dengan sikap banyak dari
umat Islam pada zaman ini. Dari mereka ada yang menempuh jalan
demonstrasi, pengeboman, pendirian partai politik, dan menggalang
dukungan dari siapapun, serta berkoalisi dengan partai apapun, tanpa
perduli dengan azaz dan idiologinya. Semua ini mereka lakukan di bawah
slogan: Menyegerakan kejayaan bagi umat Islam?!! Mengusahakan jaminan
hidup bermartabat bagi umat Islam?! Memperjuangkan nasib kaum
muslimin?!! Bahkan dari mereka ada yang berkata: Bila umat islam tidak
masuk parlemen, maka siapakah yang akan menjamin nasib mereka?!
Seakan-akan mereka tidak pernah mendengar jaminan dan janji Allah di
atas. Seusai perjanjian Hudaibiyyah ditandatangani, sahabat Umar bin
Khatthab radhiallahu ‘anhu yang tidak kuasa melihat sahabat Abu Jandal
radhiallahu ‘anhu diserahkan kembali ke orang-orang Quraisy, berkata
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bukankah engkau adalah
benar-benar Nabiyullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Ya.” Umarpun kembali berkata: “Bukankah kita di atas
kebenaran, sedangkan musuh kita di atas kebatilan?” Nabipun menjawab:
“Ya!” Umarpun berkata: “Lalu mengapa kita pasrah dengan kehinaan dalam
urusan agama kita, bila demikian adanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: “Sesungguhnya Aku adalah Rasulullah, dan aku tidak
akan menyelisihi perintah-Nya, dan Allah adalah Penolongku.” Umar
kembali berkata: “Bukankah engkau pernah mengabarkan kepada kami bahwa
kita akan mendatangi Ka’bah, kemudian berthowaf di sekelilingnya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Iya, dan apakah aku
pernah mengabarkan bahwa kita akan mendatangai Ka’bah pada tahun ini?”
Umarpun menjawab: “Tidak.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menimpalinya: “Sesungguhnya engkau akan mendatangainya, dan akan
bertowaf mengelilinginya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha
meneguhkan kembali keimanan Umar bin Khatthab kepada janji Allah agar
tidak tergoyah. Dan mengungatkannya agar bersabar dalam menanti
datangnya pertolongan Allah, yaitu dengan tetap taat kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah seyogyanya pertolongan Allah
Ta’ala digapai. Yaitu dengan keimanan yang benar dan kokoh dan kesabaran
yang teguh. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami jadikan dari mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami, ketika mereka bersabar dan adalah mereka selalu
meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah: 24)
Ibnul Qayyim berkata: “Pada ayat ini Allah Ta’ala mengabarkan bahwa
Ia telah menjadikan mereka (pengikut nabi Musa-pen) sebagai
pemimpin-pemimpin yang dijadikan panutan oleh generasi setelah mereka,
berkat kesabaran dan keyakinan mereka. Sebab dengan kesabaran dan
keyakinan, kepemimpinan dalam hal agama dapat dicapai. Karena seorang
penyeru kepada jalan Allah Ta’ala, tidaklah akan terealisasi
cita-citanya, melainkan bila ia benar-benar yakin akan kebenaran misi
yang ia surukan, ia menguasai ilmu tentangnya. Ia juga bersabar dalam
menjalankan dakwah menuju jalan Allah, yaitu dengan tabah menahan beban
dakwah dan menahan diri dari segala hal yang akan meluluhkan tekad dan
cita-citanya. Barang siapa demikian ini halnya, maka ia termasuk para
pemimpin yang telah mendapat petunjuk dari Allah Ta’ala.” (I’ilamul
Muwaqi’in 4/135)
Kisah antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat Umar
bin Khatthab radhiallahu ‘anhu di atas, tentu tidak selaras dengan
doktrin sebagian orang bahwa: yang paling penting sekarang ini adalah
kita bergerak, umat islam harus bertindak, sekarang ini bukan lagi
saatnya untuk menyoal tentang asma’ was sifat, sunnah, atau bid’ah,
sedangkan saudara kita di sana dibantai, di sini ditindas, disana
diserang dst. Sekarang ini bukan saatnya untuk bertanya sunnah atau
bid’ah? Sekarang ini saatnya kita bersatu, menggalang dukungan,
melupakan segala perbedaan, dan berusaha mencari titik temu, dst.
Doktrin ini tidaklah diucapkan kecuali oleh orang yang tidak mengenal keagungan Allah Ta’ala:
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya kalian
mengerjakan berbagai amalan, yang di mata kalian lebih lembut dibanding
rambut, padahal kami dahulu semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menganggapnya sebagai amalan yang membinasakan.” (Riwayat
Bukhori)
Tatkala Kholifah Umar bin Al Khotthab terluka akibat tusukan Abu
Lu’lu’ah Al Majusi, ia dijenguk oleh seorang pemuda yang berkata:
“Bergembiralah wahai Amirul Mukminin dengan kabar gembira dari Allah
untukmu; engkau telah menjadi sahabat Rasulullah, dan banyak berjasa
untuk Islam sebagaimana yang engkau ketahui sendiri, kemudian engkau
dipilih menjadi pemimpin, dan engkaupun berlaku adil, kemudian engkau
mati syahid.” Umarpun menjawab: “Aku berandai-andai itu semua cukup,
tidak atasku dan juga tidak untukku.” Tatkala pemuda itu telah
berpaling, ternyata sarungnya menyentuh tanah. Umar-pun berkata:
“Panggillah kembali pemuda itu,” lalu ia berkata kepadanya: “Wahai anak
saudaraku! Naikkanlah bajumu, karena dengan cara itu bajumu akan lebih
awet, dan engkau lebih bertaqwa kepada Rabb-mu.” (Riwayat Bukhori)
Pada akhir hayatnya, Kholifah Umar bin Khatthab masih juga perhatian
dengan masalah isbal. Beliau atau sahabat lainnya yang hadir kala itu
tidak ada yang berkata: “Sekarang, bukan saatnya berbicara tentang
isbal, sekarang saatnya berbicara tentang calon pengganti kholifah,”
atau ucapan yang semakna.
Kholifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkirim surat kepada salah seorang panglimanya:
“Hendaknya engkau senantiasa bertaqwa kepada Allah dalam setiap
situasi yang engkau hadapi, karena ketakwaan kepada Allah adalah senjata
paling ampuh, taktik paling bagus, dan kekuatan paling hebat. Janganlah
engkau dan kawan-kawanmu lebih waspada dalam menghadapi musuh dibanding
menghadapi perbuatan maksiat kepada Allah. Karena perbuatan dosa lebih
aku khawatirkan atas masyarakat dibanding tipu daya musuh mereka. Kita
memusuhi musuh kita dan mengharapkan kemenangan atas mereka berkat
tindak kemaksiatan mereka. Kalaulah bukan karena itu, niscaya kita tidak
kuasa menghadapi mereka, karena jumlah kita tidak seimbang dengan
jumlah mereka, kekuatan kita tidak setara dengan kekuatan mereka. Bila
kita tidak mendapat pertolongan atas mereka berkat kebencian kita
terhadap kemaksiatan mereka, niscaya kita tidak dapat mengalahkan mereka
hanya dengan kekuatan kita.
Jangan sekali-kali kalian lebih mewaspadai permusuhan seseorang
dibanding kewaspadaanmu terhadap dosa-dosamu sendiri. Janganlah kalian
lebih serius menghadapi mereka dibanding menghadapi dosa-dosa kalian.
Ketahuilah bahwa kalian senantiasa diawasi oleh para malaikat
pencatat amalan. Mereka mengetahui setiap perilaku kalian sepanjang
perjalanan dan peristirahatan kalian. Hendaknya kalian merasa malu dari
mereka, dan berlaku santun dihadapan mereka. Jangan sekali-kali
menyakiti mereka dengan tindak kemaksiatan kepada Allah, padahal kalian
mengaku sedang berjuang di jalan Allah.
Janganlah sekali-kali kalian beranggapan bahwa: “Sesungguhnya
(perbuatan) musuh-musuh kita lebih jelek dibanding kita, sehingga tidak
mungkin mereka dapat mengalahkan kita, walaupun kita berbuat dosa.
Betapa banyak kaum yang telah dikuasai oleh orang-orang yang lebih
jelek, akibat dari perbuatan dosa kaum tersebut.”
Mohonlah pertolongan kepada Allah dalam menghadapi diri kalian,
sebagaimana kalian memohon pertolongan kepada-Nya dalam menghadapi musuh
kalian. Sebagaimana kamipun turut memohon hal tersebut untuk diri kita
dan juga untuk kalian.” (Hilyatul Auliya’ 5/303)
Subhanallah, suatu pesan yang layak untuk dituliskan dengan tinta
emas, dan dibacakan kepada setiap orang yang di hatinya sedang
berkobar-kobar api perjuangan demi Islam. Sudah sepantasnya pesan ini
diajarkan kepada setiap pemuda Islam yang ingin memperjuangkan nasib
Islam dan umatnya.
Kisah peperangan uhud dan peperangan Hunain adalah contoh kecil bagi
ucapan Kholifah Umar bin Abdul Aziz: Janganlah sekali-kali kalian
beranggapan bahwa: “Sesungguhnya (perbuatan) musuh-musuh kita lebih
jelek dibanding kita,…”
Pada perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama
sahabatnya menghadapi kaum kafir Quraisy. Mereka datang ke madinah guna
membalas dendam atas kekalahan mereka pada perang Bader. Sebagian
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanggar perintah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak meninggalkan pos penjagaan
mereka di atas gunung, walau terjadi kejadian apapun. Sampai-sampai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:
“Tetaplah kalian berada di pos kalian, dan janganlah kalian berhanjak
pergi, walaupun kalian menyaksikan burung-burung telah
menyambar-nyambar kami.” (Al Baihaqy dll)
Akan tetapi perintah ini oleh sebagian sahabat yang bertugas menjaga
pos di atas gunung dilanggar. Mereka berdalih, perang telah usai, dan
musuh mulai lari tunggang-langgang, sehingga mereka merasa perlu untuk
ikut mengumpulkan rampasan perang dan menawan musuh yang berhasil di
tangkap. Akibat pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian sahabat ini,
terjadilah kekalahan dan petaka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam terluka dan terjatuh hingga pingsan, lebih dari tujuh puluh
sahabat terbunuh dll.
Pada kisah ini, sebagian sahabat melanggar perintah untuk ittiba’
(meneladani dan mentaati) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan pada perang Hunain, sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalai akan Allah, sehingga mereka merasa percaya diri dan
beranggapan tidak akan terkalahkan, karena jumlah mereka banyak.
Sebagaimana Allah kisahkan hal ini dalam surat At Taubah 25:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kalian di medan peperangan yang
banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu terperdaya
oleh banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi
manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit
olehmu, k emudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (QS. At
Taubah: 25)
Pada kisah ini sebagian sahabat yang merasa percaya diri dengan
jumlah pasukan dan melalaikan tawakkal kepada Allah, maka mereka ditimpa
kekalahan, walaupun akhirnya para sahabatnya yang telah kokoh
keimanannya, segera kembali dan berjihad melawan musuh. Dan akhirnya
Allah Ta’ala melimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan sahabatnya kemenangan. Pada kisah ini, kaum muslimin terkalahkan
pada awal peperangan, akibat rasa ujub dan lupa tawakkal, sehingga
terjadi kekeliruan dalam hal tauhid kepada Allah.
Bila kita sedikit menoleh kepada realita umat Islam pada zaman kita
ini, maka kita dapatkan sangat jauh beda. Bukan sekedar dosa-dosa kecil
yang diremehkan, akan tetapi berbagai dosa besar bahkan syirikpun tidak
lagi diperdulikan. Berapa ribu kuburan yang dikeramatkan? Berapa juta
ajimat dikantongi umat islam? Berapa ribu paranormal dan
para-tidak-normal bebas membuka praktek umum. Berapa ribu habib dan kyai
bebas mengajarkan bid’ah dan kesesatannya? Adakah orang yang merasa
terusik, atau menggalang kekuatan dan dukungan untuk mengingkari itu
semua?
Kebanyakan umat Islam sekarang ini disibukkan dengan urusan jabatan
dan perebutan jatah kursi. Mereka sewot bila ada pejabat yang korupsi,
akan tetapi tidak pernah sewot sedikitpun bila ada kuburan yang
dikultuskan, atau bid’ah yang diajarkan.
Sebenarnya fakta ini bukanlah hal baru, akan tetapi senantiasa terjadi di sepanjang masa, mari kita simak kisah berikut:
“Dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu ia menuturkan:
Datang kepadaku salah seorang dari anshar (penduduk madinah) pada masa
khilafah Utsman, kemudian ia berbicara kepadaku, ternyata ia
memerintahkanku untuk mencela Utsman, dan ia adalah orang yang lisannya
berat (susah berbicara) sehingga ia tidaklah dapat menyampaikan
maksudnya dengan jelas, dan ketika ia telah selesai berbicara, sayapun
menjawab: “Dahulu kami (para sahabat), semasa hidup Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Orang paling utama dari umat ini
ialah Abu Baker, kemudian Umar, kemudian Utsman. Dan sungguh demi
Allah, kami tidaklah mengathui bahwa Utsman pernah membunuh seorang jiwa
tanpa alasan yang dibenarkan, tidak juga pernah melakukan dosa besar.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan ialah harta kekayaan ini (harta
kekayaan khilafah/ negara), bila ia memberikannya kepada kalian, kalian
ridho, dan bila ia berikannya kepada karib kerabatnya kalian menjadi
murka. Sesungguhnya kalian ini ingin menjadi seperti orang-orang Persia
dan Romawi, mereka tidaklah pernah memiliki seorang pemimpin, melainkan
mereka bunuh sendiri.” (Riwayat Ahmad, Al Khollah dan At Thobrani)
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya cukupkan dengan menyebutkan hadits berikut:
“Bila kalian telah (sibuk dengan) mengikuti ekor-ekor sapi, berjual
beli dengan cara ‘inna[1] dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan
melekatkan kehinaan ditengkuk- tengkuk kalian, kemudian kehinaan tidak
akan dicabut dari kalian hingga kalian kembali kepada keadaan kalian
semula dan bertaubat kepada Allah.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al
Baihaqy dan dishohihkan oleh Al Albany). Wallahu a’alam bisshowab.
0 komentar:
Posting Komentar