Berikut penjelasan yang disampaikan oleh Fadhilatusy
Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah ketika beliau menjawab
pertanyaan tentang apa sikap dan kewajiban kita terkait dengan peristiwa yang
menimpa saudara-saudara kita di Ghaza – Palestina. Penjelasan ini beliau sampaikan
pada hari Senin 9 Muharram 1430 H dalam salah satu pelajaran yang beliau
sampaikan, yaitu pelajaran syarh kitab Fadhlul Islam. Semoga bermanfaat.
Pertama: Merasakan
besarnya nilai kehormatan darah (jiwa) seorang muslim.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah
(no. 3932) dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: Saya melihat Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam sedang berthawaf di Ka’bah seraya beliau berkata
(kepada Ka’bah):
“Betapa bagusnya engkau (wahai Ka’bah), betapa wangi
aromamu, betapa besar nilaimu dan besar kehormatanmu. Namun, demi Dzat yang
jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh
lebih besar di sisi Allah dibanding engkau, baik kehormatan harta maupun darah
(jiwa)nya.” [1])
Dalam riwayat At-Tirmidzi (no. 2032) dengan lafazh:
Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma,
bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar kemudian beliau
berseru dengan suara yang sangat keras seraya berkata:
“Wahai segenap
orang-orang yang berislam dengan ucapan lisannya namun keimanannya tidak
menyentuh qalbunya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian
mencela mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Karena
barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya muslim, maka pasti Allah akan
terus mengikuti aibnya. Barangsiapa yang diikuti oleh Allah segala aibnya, maka
pasti Allah akan membongkarnya walaupun dia (bersembunyi) di tengah rumahnya.”
Maka suatu ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma melihat
kepada Ka’bah dengan mengatakan (kepada Ka’bah): “Betapa besar kedudukanmu dan
betapa besar kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih besar kehormatannya di
sisi Allah dibanding kamu.”
Al-Imam At-Tirmidzi berkata tentang kedudukan hadits
tersebut: “Hadits yang hasan gharib.” Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 2032).
Seorang muslim apabila melihat darah kaum muslimin
ditumpahkan, atau jiwa dibunuh, atau hati kaum muslimin diteror, maka tidak
diragukan lagi pasti dia akan menjadikan ini sebagai perkara besar, karena
terhormatnya darah kaum muslimin dan besarnya hak mereka.
Bagaimana menurutmu, kalau seandainya seorang muslim
melihat ada orang yang hendak menghancurkan Ka’bah, ingin merobohkan dan
mempermainkannya, maka betapa ia menjadikan hal ini sebagai perkara besar?!!
Sementara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa “Demi
Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin
jauh lebih besar di sisi Allah dibanding engkau (wahai Ka’bah), baik kehormatan
harta maupun darah (jiwa)nya.”
Maka perkara pertama yang wajib atas kita adalah
merasakan betapa besar nilai kehormatan darah kaum mukminin yang bersih, yang
baik, dan sebagai pengikut sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, yang
senantiasa berjalan di atas bimbingan Islam. Kita katakan, bahwa darah (kaum
mukminin) tersebut memiliki kehormatan yang besar dalam hati kita.
Kita tidak ridha -demi Allah- dengan ditumpahkannya darah
seorang mukmin pun (apalagi lebih), walaupun setetes darah saja, tanpa alasan
yang haq (dibenarkan oleh syari’at). Maka bagaimana dengan kebengisan dan
peristiwa yang dilakukan oleh para ekstrimis, orang-orang yang zhalim, para
penjajah negeri yang suci, bumi yang suci dan sekitarnya??! Innalillah wa inna
ilaihi raji’un!!
Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk tidak peduli
dengan darah (kaum mukminin) tersebut, terkait dengan hak dan kehormatan (darah
mukminin), kehormatan negeri tersebut, dan kehormatan setiap muslim di seluruh
dunia, dari kezhaliman tangan orang kafir yang penuh dosa, durhaka, dan penuh
kezhaliman seperti peristiwa (yang terjadi sekarang di Palestina) walaupun
kezhaliman yang lebih ringan dari itu.
Kedua: Wajib atas kita
membela saudara-saudara kita.
Pembelaan kita tersebut harus dilakukan dengan cara yang
syar’i. Cara yang syar’i itu tersimpulkan sebagai berikut:
- Kita membela mereka dengan cara do’a untuk mereka. Kita
do’akan mereka pada waktu sepertiga malam terakhir, kita do’akan mereka dalam
sujud-sujud (kita), bahkan kita do’akan dalam qunut (nazilah) yang dilakukan
pada waktu shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh waliyyul amr
(pemerintah).
Jangan heran dengan pernyataanku “dalam qunut nazilah
yang dilakukan dalam shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh waliyyul
amr.” Karena umat Islam telah melalui berbagai musibah yang dahsyat pada zaman
shahabat Nabi, namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para shahabat
melakukan qunut nazilah selama mereka tidak diperintah oleh pimpinan (kaum
muslimin).
Oleh karena itu aku katakan: Kita membantu
saudara-saudara kita dengan do’a pada waktu-waktu sepertiga malam terakhir,
kita bantu saudara-saudara kita dengan do’a dalam sujud, kita membantu
saudara-saudara kita dengan do’a saat-saat kita berdzikir dan menghadap Allah
agar Allah menolong kaum muslimin yang lemah.
Semoga Allah membebaskan kaum muslimin dari cengkraman
tangan-tangan zhalim, dan mengokohkan mereka (kaum muslimin) dengan ucapan
(aqidah) yang haq, serta menolong mereka terhadap musuh kita, musuh mereka,
musuh Allah, dan musuh kaum mukminin.
Ketiga dan Keempat, terkait dengan sikap kita terhadap
peristiwa Ghaza:
Kita harus waspada
terhadap orang-orang yang memancing di air keruh,menyeru dengan seruan-seruan yang penuh emosional atau
seruan yang ditegakkan di atas perasaan (jauh dari bimbingan ilmu dan sikap
ilmiah), yang justru membuat kita terjatuh pada masalah yang makin besar.
Kalian tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam berada di Makkah, berada dalam periode Makkah, ketika itu beliau
mengetahui bahwa orang-orang kafir terus menimpakan siksaan yang keras terhadap
kaum muslimin. Sampai-sampai kaum muslimin ketika itu meminta kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam agar menginzinkan mereka berperang. Ternyata
Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanya mengizinkan sebagian mereka
untuk berhijrah (meninggalkan tanah suci Makkah menuju ke negeri Habasyah),
namun sebagian lainnya (tidak beliau izinkan) sehingga mereka terus minta izin
dari Rasulullah untuk berperang dan berjihad.
Dari shahabat Khabbab bin Al-Arat Radhiyallahu ‘anhu:
Kami mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam ketika beliau sedang berbantalkan burdahnya di bawah Ka’bah –di mana
saat itu kami telah mendapatkan siksaan dari kaum musyrikin–. Kami berkata
kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mintakanlah pertolongan (dari Allah) untuk
kama? berdo’alah (wahai Rasulullah) kepada Allah untuk kami?”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam [2]):
“Bahwa dulu seseorang dari kalangan umat sebelum kalian, ada yang digalikan
lubang untuknya kemudian ia dimasukkan ke lubang tersebut. Ada juga yang
didatangkan padanya gergaji, kemudian gergaji tersebut diletakkan di atas
kepalanya lalu ia digergaji sehingga badannya terbelah jadi dua, akan tetapi
perlakuan itu tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Ada juga
yang disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah tulang dan dagingnya, akan
tetapi perlakuan itu pun tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya.
Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan ini (Islam), hingga (akan ada)
seorang pengendara yang berjalan menempuh perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut,
dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah atau (dia hanya khawatir terhadap)
srigala (yang akan menerkam) kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 3612, 3852,
6941).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terus berada
dalam kondisi ini dalam periode Makkah selama 13 tahun. Ketika beliau berada di
Madinah, setelah berjalan selama 2 tahun turunlah ayat:
Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi karena
mereka telah dizhalimi. Sesungguhnya Allah untuk menolong mereka adalah sangat
mampu.” [Al-Haj: 39]
Maka ini merupakan izin bagi mereka untuk berperang.
Kemudian setelah itu turun lagi ayat:
“Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian
melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” [Al-Baqarah: 190]
Kemudian setelah itu turun ayat:
Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu,
karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)
janjinya, agar supaya mereka berhenti. [At-Taubah: 12]
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Akhir”
[At-Taubah: 29]
Yakni bisa kita katakan, bahwa
perintah langsung untuk berjihad turun setelah 16 atau 17 tahun berlalunya awal
risalah. Jika masa dakwah Rasulullah adalah 23 tahun, berarti 17 tahun adalah perintah untuk
bersabar. Maka kenapa kita sekarang terburu-buru??!
Kalau ada yang mengatakan: Ya Akhi, mereka (Yahudi) telah
mengepung kita! Ya Akhi mereka (Yahudi) telah menzhalimi kita di Ghaza!!
Maka jawabannya: Bersabarlah, janganlah kalian
terburu-buru dan janganlah kalian malah memperumit masalah. Janganlah kalian
mengalihkan permasalahan dari kewajiban bersabar dan menahan diri kepada sikap
perlawanan ditumpahkan padanya darah (kaum muslimin).
Wahai saudara-saudaraku, hingga pada jam berangkatnya aku
untuk mengajar jumlah korban terbunuh sudah mencapai 537 orang, dan korban luka
2.500 orang. Apa ini?!!
Bagaimana kalian menganggap enteng perkara ini? Mana
kesabaran kalian? Mana sikap menahan diri kalian? Sebagaimana jihad itu ibadah,
maka sabar pun juga merupakan ibadah. Bahkan tentang sabar ini Allah berfirman:
“Sesungguhnya
hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
[Az-Zumar: 10]
Jadi sabar merupakan ibadah. Kita beribadah kepada Allah
dengan amalan kesabaran.
Kenapa kalian mengalihkan umat dari kondisi sabar
menghadapi kepungan musuh kepada perlawanan dan penumpahan darah?
Kenapa kalian menjadikan
warga yang aman, yang tidak memiliki keahlian berperang, baik terkait dengan
urusan-urusan maupun prinsip-prinsip perang, kalian menjadikan mereka sasaran
penyerbuan tersebut, sasaran serangan tersebut, dan sasaran pukulan tersebut,
sementara kalian sendiri malah keluar menuju Beirut dan Libanon??! Kalian telah
menimpakan bencana terhadap umat sementara kalian sendiri malah keluar (dari
Palestina)??!
Oleh karena itu saya katakan: Janganlah seorang pun
menggiring kita dengan perasaan atau emosi kepada membalik realita.
Kami mengatakan: bahwa wajib atas kita untuk bersabar dan
menahan diri serta tidak tidak terburu-buru. Sabar adalah ibadah. Rasulullah
Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabar dengan kesabaran yang panjang atas
kezhaliman Quraisy dan atas kezhaliman orang-orang kafir. Kaum muslimin yang
bersama beliau juga bersabar. Apabila dakwah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa
Sallam selama 23 tahun, sementara 17 tahun di antaranya Rasulullah bersabar
(terhadap kekejaman/kebengisan kaum musyrikin) maka kenapa kita melupakan sisi
kesabaran?? Dua atau tiga tahu mereka dikepung/diboikot! Kita bersabar dan
jangan menimpakan kepada umat musibah, pembunuhan, kesusahan, dan kesulitan
tersebut. Janganlah kita terburu beralih kepada aksi militer!!
Wahai saudaraku, takutlah kepada
Allah! Apabila Rasulullah merasa iba kepada umatnya dalam masalah shalat,
padahal itu merupakan rukun Islam yang kedua, beliau mengatakan (kepada
Mu’adz): “Apakah engkau hendak menjadi tukang fitnah wahai Mu’adz?!!” karena
Mu’adz telah membaca surat terlalu panjang dalam shalat. Maka bagaimana menurutmu
terhadap orang-orang yang hanya karena perasaan dan emosinya yang meluap
menyeret umat kepada penumpahan darah dan aksi perlawanan yang mereka tidak
memiliki kemampuan, bahkan walaupun sepersepuluh saja mereka tidak memiliki
kemampuan untuk melakukan perlawanan. Bukankah tepat kalau kita
katakan (pada mereka): Apakah kalian hendak menimpakan musibah kepada umat
dengan aksi perlawanan ini yang sebenarnya mereka sendiri tidak memiliki
kemampuan untuk melakukan perlawanan tersebut!
Tidak ingatkah kita ketika kaum kuffar dari kalangan
Quraisy dan Yahudi berupaya mencabik-cabik Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa
Sallam dalam perang Ahzab, setelah adanya pengepungan (terhadap Rasulullah
Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya) yang berlangsung selama satu
bulan, lalu sikap apa yang Rasulullah lakukan? Yaitu beliau Shallahu ‘alaihi wa
Sallam mengutus kepada qabilah Ghathafan seraya berkata kepada mereka: “Saya
akan memberikan kepada kalian separoh dari hasil perkebunan kurma di Madinah
agar mereka (qabilah Ghathafan) tidak membantu orang-orang kafir dalam
memerangi kami.”
Kemudian beliau mengutus kepada para pimpinan Anshar,
maka mereka pun datang (kepada beliau). Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam
menyampaikan kepada mereka bahwa beliau telah mengambil kebijakan begini dan
begini, kemudian beliau berkata: “Kalian telah melihat apa yang telah menimpa
umat berupa kegentingan dan kesulitan?”
Perhatikan, bukanlah keletihan dan kesulitan yang menimpa
umat sebagai perkara yang enteng bagi beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam.
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam tidak rela memimpin mereka untuk
melakukan perlawanan militer dalam keadaan mereka tidak memiliki daya dan
kemampuan, sehingga dengan itu beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam menerima dari
shahabat Salman Al-Farisi ide untuk membuat parit (dalam rangka menghalangi
kekuatan/serangan musuh).
Demikianlah (cara perjuangan Rasulullah), padahal beliau
adalah seorang Rasul Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan bersama beliau para
shahabatnya. Apakah kita lebih kuat imannya dibanding Rasulullah?! Apakah kita
lebih kuat agamanya dibanding Rasulullah??! Apakah kita lebih besar
kecintaannya terhadap Allah dan agama-Nya dibanding Rasulullah dan para
shahabatnya??!
Tentu tidak wahai saudaraku.
Sekali lagi Rasulullah tidak memaksakan (kepada para
shahabatnya) untuk melakukan perlawanan (terhadap orang kafir). Bukan perkara
yang ringan bagi beliau ketika kesulitan yang menimpa umat sudah sedemikian
parah. Sehingga terpaksa beliau mengutus kepada qabilah Ghathafan untuk
memberikan kepada mereka separo dari hasil perkebunan kurma Madinah (agar mereka
tidak membantu kaum kafir menyerang Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan
para shahabatnya). Namun Allah kuatkan hati dua pimpinan Anshar, keduanya
berkata: ‘Wahai Rasulullah, mereka tidak memakan kurma tersebut dari kami pada
masa Jahiliyyah, maka apakah mereka akan memakannya dari kami pada masa Islam?
Tidak wahai Rasulullah. Kami akan tetap bersabar.’
Mereka (Anshar) tidak mengatakan: Kami akan tetap
berperang. Namun mereka berkata: Kami akan bersabar. Maka tatkala mereka
benar-benar bersabar, setia mengikuti Rasulullah, dan ridha, datanglah kepada
mereka pertolongan dari arah yang tidak mereka sangka. Datanglah pertolongan
dari sisi Allah, datanglah hujan dan angin, dan seterusnya. Bacalah peristiwa
ini dalam kitab-kitab sirah, pada (pembahasan) tentang peristiwa perang Ahzab.
Maka, permasalahan yang aku
ingatkan adalah: Janganlah
ada seorangpun yang menyeret kalian hanya dengan perasaan dan emosinya, maka
dia akan membalik realita yang sebenarnya kepada kalian.
Aku mendengar sebagai orang mengatakan, bahwa
“Penyelesaian permasalahan yang terjadi adalah dengan jihad, dan seruan untuk
berjihad!”
Tentu saya tidak
mengingkari jihad, namun apabila yang dimaksud adalah jihad yang syar’i
Sementara jihad yang syar’i
memilliki syarat-syarat, dan syarat-syarat tersebut belum terpenuhi pada kita
sekarang ini. Kita belum memenuhi syarat-syarat terlaksananya jihad syar’i pada
hari ini. Sekarang kita
tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan. Allah tidak membebani seseorang
kecuali sebatas kemampuannya.
Apabila Sayyiduna ‘Isa
alaihissalam pada akhir zaman nanti akan berhukum dengan syari’at Muhammad
Shallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Isa adalah seorang nabi dan bersamanya kaum
mukminin, namun Allah
mewahyukan kepadanya: ‘Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur karena
sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak mampu
melawannya.’Siapakah kaum tersebut? Mereka adalah Ya`juj dan Ma`juj.
Perampasan yang dilakukan oleh Ya’juj dan Ma’juj -mereka
termasuk keturunan Adam (yakni manusia)- terhadap kawasan Syam dan sekitarnya
seperti perampasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan ahlul batil
terhadap salah satu kawasan dari kawasan-kawasan (negeri-negeri) Islam. Maka
jihad melawan mereka adalah termasuk jihad difa’ (defensif: membela diri).
Meskipun demikian ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada ‘Isa
‘alaihissalam – beliau ketika itu berhukum dengan syari’at Nabi Muhammad
Shallahu ‘alaihi wa Sallam -: “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal
Ath-Thur. Karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian
tidak akan mampu melawannya.’
Allah tidak mengatakan kepada mereka: “Berangkatlah
melakukan perlawanan terhadap mereka.” Allah tidak mengatakan kepada:
“Bagaimana kalian membiarkan mereka mengusai negeri dan umat?” Tidak. Tapi
Allah mengatakan: “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur. Karena
sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak akan mampu
melawannya.” Inilah hukum Allah.
Jadi, meskipun jihad difa’ tetap kita harus melihat pada
kemampuan. Kalau seandainya masalahnya adalah harus melawan dalam situasi dan
kondisi apapun, maka apa gunanya Islam mensyari’atkan bolehnya perdamaian dan
gencatan senjata antara kita dengan orang-orang kafir? Padahal Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah berfirman:
“Jika mereka (orang-orang kafir) condong
kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya (terimalah ajakan perdamaian
tersebut).” [Al-Anfal:
61]
Apa makna itu semua?
Oleh karena itu Samahatusy Syaikh Bin Baz Rahimahullah
menfatwakan bolehnya berdamai dengan Yahudi, meskipun mereka telah merampas
sebagian tanah Palestina, dalam rangka menjaga darah kaum muslimin, menjaga
jiwa mereka, dengan tetap diiringi mempersiapkan diri sebagai kewajiban
menyiapkan kekuatan untuk berjihad. Persiapan kekuatan untuk berjihad dimulai
pertama kali dengan persiapan maknawi imani (yakni mempersiapkan kekuatan
iman), baru kemudian persiapan materi.
Maka kami tegaskan bahwa:
Kewajiban kita terhadap tragedi besar yang menimpa kaum
muslimin (di Palestina) dan negeri-negeri lainnya:
- Bahwa kita membantu
mereka dengan do’a untuk mereka, dengan cara yang telah aku jelaskan di atas.
- Kita menjadikan masalah
darah kaum muslimin sebagai perkara besar, kita tidak boleh mengentengkan perkara
ini. Kita menyadari bahwa ini merupakan perkara besar yang tidak diridhai oleh
Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslimin.
- Kita waspada agar
jangan sampai ada seorangpun yang menyeret kita hanya dengan perasaan dan emosi
kepada perkara-perkara yang bertentangan dengan syari’at Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
- Kita mendekatkan diri
dan beribadah kepada Allah dengan cara mengingatkan diri kita dan
saudara-saudara kita tentang masalah sabar. Allah telah berfirman: “Bersabarlah
sebagaimana kesabaran para ulul ‘azmi dari kalangan para rasul.” [Al-Ahqaf: 35]
Karena sesungguhnya sikap sabar merupakan sebuah siasat yang bijaksana dan
terpuji dalam situasi dan kondisi seperti sekarang. Sabar merupakan obat.
Dengan kesabaran dan ketenangan serta tidak terburu-buru insya Allah problem
akan terselesaikan. Kita memohon kepada Allah pertolongan dan taufiq. Adapun
mengajak umat pada perkara-perkara yang berbahaya maka ini bertentangan dengan
syari’at Allah dan bertentangan dengan agama Allah.
Kelima: Memberikan
bantuan materi yang disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi, yaitu melalui
jalur pemerintah.
Selama pemerintah membuka pintu (penyaluran) bantuan
materi dan sumbangan maka pemerintah lebih berhak didengar dan ditaati. Setiap
orang yang mampu untuk menyumbang maka hendaknya dia menyumbang. Barangsiapa
yang lapang jiwanya untuk membantu maka hendaknya dia membantu. Namun janganlah
menyalurkan harta dan bantuan tersebut kecuali melalui jalur resmi sehingga
lebih terjamin insya Allah akan sampai ke sasarannya. Jangan tertipu dengan
nama besar apapun, jika itu bukan jalur yang resmi yang bisa
dipertanggungjawabkan. Janganlah memberikan bantuan dan sumbanganmu kecuali
pada jalur resmi.
Inilah secara ringkas kewajiban kita terhadap tragedi
yang menimpa saudara-saudara di Ghaza. Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala agar menolong dan mengokohkan mereka serta memenangkan mereka atas
musuh-musuh kita dan musuh-musuh mereka (saudara-saudara kita yang di
Palestina), serta menghilangkan dari mereka (malapetaka tersebut). Kita memohon
agar Dia menunjukkan keajaiban-keajaiban Qudrah-Nya atas para penjajah, para
penindas, dan para perampas yang zhalim dan penganiaya tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar